Sabtu, 03 September 2011

BAGAI PERJALANAN TAK ADA UJUNG


Nurah, saudara perempuanku nampak pucat dan kurus sekali. Tetapi
seperti biasa, ia masih membaca Al-Qur’anul Karim. Jika ingin
menemuinya, pergilah ke mushallanya. Di sana engkau akan mendapatinya
sedang ruku’, sujud dan menengadahkan ke langit. Itulah yang
dilakukannya setiap pagi, sore dan di tengah malam hari. Ia tidak
pernah jenuh.


Berbeda dengannya, aku selalu asyik membaca majalah-majalah seni,
tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir tak pernah beranjak dari
video. Bahkan, aku sudah identik dengan benda yang satu ini. Setiap
video diputar pasti di situ ada aku.

Karena ‘kesibukanku’ ini, banyak
kewajiban yang tak bisa kuselesaikan bahkan, aku suka meninggalkan
shalat. Setelah tiga jam berturut-turut menonton video di tengah
malam, aku dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid
dekat rumahku. Sekonyong-konyong malas menggelayuti semua
persendianku, maka aku pun segera menghampiri tempat tidur.

Nurah memanggilku dari mushallanya. Dengan berat sekali, aku menyeret
kaki menghampirinya.
“Ada apa Nurah?,” tanyaku.

“Jangan tidur sebelum shalat Subuh!”, ia mengingatkan. “Ah. Subuhkan
masih satu jam lagi. Yang baru saja kan adzan pertama!” Begitulah, ia
selalu penuh perhatian padaku. Sering memberiku nasihat, sampai
akhimya ia terbaring sakit. ia tergeletak lemah di tempat tidur.


“Hanah!,” panggilnya lagi suatu ketika. Aku tak mampu menolaknya.
Suara itu begitu jujur dan polos. “Ada apa saudariku?”, tanyaku pelan.
“Duduklah!”


Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening… Sejenak kemudian Nurah
melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu.

“Tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu.” (Al Imran: 185)

Diam sebentar, lalu
ia bertanya: “Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?” “Tentu saja
percaya!”

“Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan dihisab, baik yang
besar maupun yang kecil?” “Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih
panjang!”

“Ukhti, apakah kamu tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba?

Lihatlah Hindun, dia lebih muda darimu, tetapi meninggal karena
sebuah kecelakaan. Lihat pula si fulanah…Kematian tidak mengenal
umur. Umur bukan ukuran bagi kematian seseorang. Aku menjawabnya
penuh ketakutan. Suasana tengah malam yang gelap mencekam, semakin
menambah rasa takutku.


“Aku takut dengan gelap, bagaimana engkau menakut-nakutiku lagi dengan
kematian? Di mana aku akan tidur nanti ?” Jiwa asliku yang amat
penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri aku benusaha
tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan,
rekreasi.


“Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi rekreasi
bersama?”, pancingku. “‘Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan
pergi jauh, ke tempat yang jauh… mungkin… umur ada di tangan
Allah, Hanah”, ia lalu terisak. Suara itu bergetar, aku ikut hanyut
dalam kesedihan.

Sekejap, langsung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang
ganas. Para dokter, secara rahasia telah mengabarkan hal itu kepada
ayah. Menurut analisa medis, para dokter sudah tak sanggup, dan itu
berarti dekatnya kematian. Tetapi, siapa yang mengabarkan ini semua
padanya?, atau ia memang merasa sudah datang waktunya?, “Mengapa
termenung? Apa yang engkau lamunkan?”, Nurah membuyarkan lamunanku.

“Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang sakit? Tidak.
Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang sehat.

Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40
tahun atau… Lalu apa setelah itu? Kita tidak berbeda. Kita semua
pasti akan pergi, entah ke Surga atau ke Neraka. Apakah engkau belum
mendengar ayat: “Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke
dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung” ( Ali Imran:
185)

“Sampai besok pagi,” ia menutup nasihatnya.

Aku bergegas meninggalkannya menuju kamar. Nasihatnya masih terngiang-
ngiang di gendang telingaku, “Semoga Allah memberimu petunjuk, jangan
lupa shalat!”

Pagi hari…Jam dinding menunjukkan angka delapan pagi.
Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. “Pada jam ini biasanya aku
belum mau bangun” pikirku. Tetapi di luar terdengar suara gaduh,
orang banyak terisak. “Ya Rabbi, apa yang terjadi?”

“Mungkin Nurah…?, “firasatku berbicara. Dan benar, Nurah pingsan,
ayah segera melarikannya ke rumah sakit. Tidak ada rekreasi tahun
ini. Kami semua harus menunggui Nurah yang sedang sakit. Lama sekali
menunggu kabar dari rumah sakit dengan harap-harap cemas. Tepat pukul
satu siang, telepon di rumah kami berdering. Ibu segera
mengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia menelpon dari rumah
sakit. “Kalian bisa pergi ke rumah sakit sekarang!,”
demikian pesan ayah singkat.

Kata ibu, tampak sekali ayah begitu panik, nada suaranya berbeda dari
biasanya.

“Mana sopir…?” kami semua terburu-buru: Kami menyuruh sopir
menjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah, jalan yang biasanya terasa
dekat bila aku menikmatinya dalam perjalanan liburan, kini terasa
amat panjang, panjang dan lama sekali. Jalanan macet yang biasanya
kunanti-nantikan sehingga aku bisa menengok ke kanan-kiri, cuci mata,
kini terasa menyebalkan. Di sampingku, ibu berdo’a untuk keselamatan
Nurah.

“Dia anak shalihah. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya. Ia
begitu rajin beribadah”, ibu bergumam sendirian. Kami turun di depan
pintu rumah sakit. Kami segera masuk ruangan. Para pasien pada
tergeletak lunglai. Di sana sini terdengar lirih suara rintihan. Ada
yang baru saja masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya buta,
ada yang mengerang keras. Pemandangan yang membuat bulu kudukku
merinding. Kami naik tangga eskalator menuju lantai atas.

Nurah berada di ruang perawatan intensif. Di depan pintu terpampang
papan peringatan: “Tidak boleh masuk lebih dari satu orang!” Kami
terperangah. Tak lama kemudian, seorang perawat datang menemui, kami.
Perawat memberitahu kalau kini kondisi Nurah mulai membaik, setelah
beberapa saat sebelumnya tak sadarkan diri.

Di tengah kerumunan para dokter yang merawat, dari sebuah lubang kecil
jendela yang ada di pintu, aku melihat kedua bola mata Nurah sedang
memandangiku. Ibu yang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air
matanya. Waktu besuknya habis, ibu segera keluar dari ruang perawatan
intensif.

Kini tiba giliranku masuk. Dokter memperingatkan agar aku tidak banyak
mengajaknya bicara. Aku diberi waktu dua menit.

“Assalamu ‘alaikum!, bagaimana keadaanmu Nurah?, tadi malam, engkau
baik-baik saja. Apa yang terjadi denganmu?”, aku menghujaninya dengan
pertanyaan.

“Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja, jawabnya dengan berusaha
tersenyum.

“Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?” aku menyelidik. Aku
duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia segera
menjauhkannya dari jangkauanku.

“Ma’af, kalau aku mengganggumu!”, aku tertunduk.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta’alaa:
“Dan bertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada Tuhanmullah pada
hari itu kami dihalau”. (Al-Qiyamah: 29-30)

Nurah melantunkan ayat suci Alquran. Aku menguatkan diri. Sekuat
tenaga aku berusaha untuk tidak menangis di hadapan Nurah, aku
membisu.

“Hanah, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku akan menghadap.
Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku di akhirat
Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali”.

Pertahananku runtuh. Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ayah mengkhawatirkan keadaanku. Sebab mereka tak pernah melihatku
menangis seperti itu.

Bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada
hari itu. Nurah meninggal dunia. Suasana begitu cepat berubah.
Seperti baru beberapa menit aku bebincang-bincang dengannya. Kini ia
telah meninggalkan kami buat selama-selamanya. Dan, ia tak akan
pernah bertemu lagi dengan kami. Tak akan pernah pulang lagi. Tidak
akan bersama-sama lagi.

Oh Nurah Suasana di rumah
kami digelayuti duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh
tangisan yang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga berdatangan
melawat. Aku tidak bisa membedakan lagi, siapa-siapa yang datang,
tidak pula apa yang mereka percakapan.

Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah, bagaimana dengan
diriku? Apa yang bakal terjadi pada diriku? Aku tak kuasa lagi, meski
sekedar menangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir. Aku
ingin menghantarkan salam terakhir. Aku ingin mencium keningnya.

Kini, tak ada sesuatu yang kuingat selain satu hal. Aku ingat firman
Allah yang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya. “Dan bertaut
betis (kiri) dengan betis (kanan)”. Aku kini benar-benar paham
bahwa “Kepada Tuhanmullah pada hari itu kamu dihalau”

“Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah malam terakhir aku
menjumpainya di mushallanya. Malam ini, aku sendirian di mushalla
almarhumah terbayang kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian
baik kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihanku, ikut
memahami dan merasakan kegalauanku, saudari yang selalu mendo’akanku
agar aku mendapat hidayah Allah, saudari yang senantiasa mengalirkan
air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menasihatiku
tentang mati, hari perhitungan .ya Allah! Malam ini adalah malam
pertama bagi Nurah di kuburnya. Ya Allah, rahmatilah dia, terangilah
kuburnya. Ya Allah, ini mushaf Nurah, ini sajadahnya dan ini..ini
gaun merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal dijadikan
kenangan manis pernikahannya.

Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan sia-sia. Aku menangis
terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku berdo’a kepada Allah semoga Dia
merahmatiku dan menerima taubatku. Aku mendo’akan Nurah agar mendapat
keteguhan dan kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering
dan suka mendo’akanku.

Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri. “Apa yang terjadi
jika yang meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?” Aku tak
berani mencari jawabannya, ketakutanku memuncak. Aku menangis,
menangis lebih keras lagi. Allahu Akbar, Allahu Akbar…Adzan fajar
berkumandang.

Tetapi, duhai alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Aku
merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Aku jawab ucapan
muadzin, lalu segera kuhamparkan lipatan sajadah, selanjutnya aku
shalat Subuh. Aku shalat seperti keadaan orang yang hendak berpisah
selama-lamanya. Shalat yang pemah kusaksikan terakhir kali dari
saudari kembarku Nurah.

Jika tiba waktu pagi, aku tak menunggu waktu
sore dan jika tiba waktu sore, aku tidak menunggu waktu pagi.

Sumber: agus-haris.net

LOWONGAN KERJA ONLINE INPUT DATA

 
  1.  Kerja System Online
  2.  Penawaran Bonus Gaji Pokok 2 Juta/Bulannya 
  3.  Pekerjaan Hanya Mengumpulkan dan Menginput Data yang disediakan program Secara Online,  Per-Input dapat  komisi  Rp. 10.000, - Bila Sehari Anda Sanggup Menginput 50 Data Maka Gaji  Anda 10RbX50Data=500Rb  Rupiah/Hari. Dalam 1 Bulan   500RbX30Hari=15Juta/Bulan.
  4.  Untuk Semua Golongan Individu Pelajar/Mahasiswa/Karyawan/Siapa saja Yang Memiliki Koneksi  Internet, Dapat  Dikerjakan   dirumah/diwarnet.
  5.  Mendapatkan Gaji 200Rb Didepan Setelah Pendaftaran Untuk Semangat Kerja Pertama Anda.
Cara Pendaftaran : Kirimkan Nama & Alamat Email anda MELALUI WEBSITE dibawah ini

Maka Demo dan Konsep kerjanya selengkapnya langsung kami kirimkan ke alamat web tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar