Senin, 26 September 2011

~* Dan "Akhir" Itu pun Datang *~

( Cerpen by. Fahmi ZA, Lalu )

"Bila petang, ucaplah salam pada rembulan malam. Karena esok hari, mungkin takkan pernah ada malam dan rembulan di beranda rumah."

Aku adalah seorang hakim dan akan selalu bangga menjadi hakim, hingga pada suatu hari aku ditangkap atas tuduhan menerima suap dan dugaan terlibat pencucian uang yang mengakibatkan kerugian negara ratusan miliar rupiah.

Malam yang cerah. Selepas salat Isya, aku, istri dan anak-anak kami tengah bercengkrama di ruang tamu, mereka-reka rencana untuk mengisi liburan. Tiba-tiba, beberapa orang polisi berpakaian dinas mengetuk pintu. Istriku bergegas mengetuk pintu.

"Selamat malam. Kami membawa surat penangkapan suami Anda. Beliau harus ikut kami sekarang juga, "seru salah satu dari mereka, seraya menyodorkan surat penangkapanku. Istriku tersentak pucat pasi.

Tanpa banyak basa-basi, dua orang dari mereka segera memborgol kedua tanganku.
Anak-anakku menangis menarik-narik tanganku dari dua orang polisi yang memegangku.

"Lepaskan Ayah! Lepaskan Ayah!"
Teriak Kanaya, putri kami yang baru berusia tiga tahun.

"Ayah mau dibawa ke mana?" tanyanya sambil terisak.

"Ayah mau keluar bersama bapak-bapak ini sebentar. Ada urusan penting yang harus Ayah selesaikan," ujarku berusaha menengkannya.

"Ma, bawa anak-anak masuk. Ayah akan membereskan masalah ini secepatnya," ucapku pada istriku yang seperti masih tidak percaya.

Aku merasa yakin dan percaya diri saat itu, karena merasa sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan seperti yang di dakwakan kepadaku.

Tanpa tawar-menawar, dengan hati mantap ku ikuti langkah polisi-polisi itu, menaiki mobil.
Aku sempat menoleh, istriku sama sekali tidak beranjak. Ia meraih tangan lalu mendekap putra-putri kami. Mereka menangis tersedu, melepaskan kepergianku bersama para polisi.

*****

Setelah proses peradilan yang panjang dan melelahkan, akhirnya aku di putuskan bersalah. Banding yang kuajukan ke Mahkamah Agung tidak membuahkan hasil. Semua saksi dan bukti-bukti memberatkanku. Pengacaraku sudah kehabisan akal. Ia menyarankan untuk mengajukan grasi, tapi ku tolak, karena itu berarti mengiyakkan tuduhan pidana yang tak pernah aku lakukan.

Sebelum pembacaan putusan terakhir, hakim memberiku kesempatan untuk membacakan pledoi. Aku tahu, walaupun tidak akan bermanfaat banyak, setidaknya aku jadi lebih lapang. "survive terakhir" tegasku dalam hati. Tidak hanya untukku, tapi juga bagi kambing hitam-kambing hitam yang lain.

"Tuan Hakim yang terhormat," ucapku mulai bicara.

"Demi Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Saya bukan koruptor dan tidak lahir dari keluarga koruptor."

"Yang saya tahu, banyak orang yang kasus-kasusnya saya tangani, datang membawa ini dan itu, namun saya tolak. Sampai pada suatu hari, seseorang membawa cerutu dan mempersilahkan saya mencobanya. Untuk menunjukkan rasa hormat kepada tamu, saya pun mencobanya. Saya memang merokok sesekali, tapi tidak memiliki ketergantungan kepada rokok.
Minggu-minggu berikutnya, tiba-tiba banyak kiriman cerutu berkualitar dialamatkan kepada saya, dengan pengirim berbeda-beda.
Dan akhirnya, berujung pada rekening yang jaksa tuduhkan, adalah milik saya, meskipun bukan atas nama saya. Saya sungguh tidak tahu-menahu soal rekening-rekening itu dan siapa pemiliknya. Saya tidak tahu, bahkan saya tidak tahu kalau saya adalah orang kaya seperti yang jaksa tuduhkan kepada saya. Sekian."

Majelis hakim terlihat berbisik, lalu sesaat kemudian terdengar ketukan palu. Vonis kurungan seumur hidup telah dijatuhkan kepadaku. Istriku lunglai dengan mata berkaca-kaca. Jelas sekali, tergambar keputus-asaan di wajahnya yang mulai sedikit bergaris. Tanpa lupa membrogol kedua tanganku, para petugas penjara lalu membawaku kembali menuju rutan dengan status baru narapidana.

*****

Hari ini, tepat lima tahun aku terkurung di sini, mendekam di antara jeruji besi dengan status narapidana. Kanaya putri kecilku, sekarang sudah duduk di kelas dua SD, sementara Ardi kakaknya baru masuk SLTP.

Alangkah sedih rasanya, melewati hari-hari tanpa menyaksikan mereka tumbuh menjadi remaja. Apalagi membayangkan hari-hari berat yang harus mereka lalui. Galau hatiku membayangkan perasaan mereka menerima ejekan-ejekan dan cemooh setiap hari dari lingkungan dan masyarakat.

Fitnah yang melanda keluargaku dan menyematkan aib bagi kami seolah belum cukup mendera kami. Sejak hari ketika aku resmi menjadi terpidana, mamaku makin sakit-sakitan. Beliau menjadi lumpuh dan tidak dapat berkata-kata dengan normal.

Istriku yang setia menjengukku sekali seminggu, mengabarkan bahwa mamaku hanya bisa menangis dan melewati hari di pembaringan, hingga akhirnya beliau pun menjemput ajal.
Dua tahun sudah almarhummah Mama meninggal. Jeruji besi ini tidak memberi kesempatan bagiku untuk merawat beliau ketika sakit.

Kuhela nafas panjang. "Rencana apalagi ini Tuhan? Mengapa penantian sementara ini, terasa begitu berat?" keluhku membatin.

Pikiranku menerawang. Raut wajah Ayah dan Ibuku melintas dibenakku. Untuk sesaat, kurasakan lagi semangat dan prinsip serta perjuangan itu, semangat yang mengantarkanku pada 'perjuangan' untuk menjadi manusia utuh, prinsip yang senantiasa menopang rasa percaya diriku menghadapi pahit-getirnya kehidupan fana ini.

*****

Azan isya berkumandang di masjid rutan, bersahut-sahutan dengan azan dari surau-surau dan masjid-masjid perkampungan di luar sana. Namun tiba-tiba aku merasa sangat lelah. Aku pun segera berwudlu. Kuputuskan untuk shalat di ruang tahanan.

Selepas shalat, belum beranjak dari atas sajadah, kepalaku terasa berat. Rasa kantuk yang menerangku, semakin menjadi-jadi. Aku pun rebah, tertidur di atas sajadah. Samar-samar masih terdengar suara jangkrik dan langkah kaki para napi di luar tahananku. Kemudian suara-suara itu menghilang, seketika berganti hening. Kurasakan sekitarku menjadi temaram, bagai malam purnama. Alangkah tenang hati dan jiwaku. Hanya sesaat, kemudian semuanya bagaikan sirna.

Tiba-tiba, terasa ada tangan lembut seperti tengah mengusap-usap kepalaku.
"Aku seperti mengenal usapan lembut ini," ucapku membatin.

Aku pun terbangun dan menangkap dua sosok wajah yang selama ini sangat aku kenal. Ibu dan Ayah muncul di hadapanku.

"Nak, Mama perhatikan tampaknya kau tak betah di tempat ini. Kau ikut mama saja bagaimana? Kami sudah siapkan tempat yang bagus untukmu," "kata beliau seraya mengulurkan tangan.

Ayahku hanya tersenyum mengiyakkan. Tatapan mata dan air muka beliau sangat berwibawa dan memancarkan kebijaksanaan. Ku raih tangan mereka, lalu berjalan tanpa peduli entah akan ke mana.

"Mama sudah sembuh?" tanyaku sambil terus melangkah.
"Alhamdulillah, Mama sehat wal 'afiat. Mama tidak sakit-sakitan lagi," jawab mama tersenyum.

Entahlah, saat itu aku merasa sangat nyaman sampai melupakan segalanya. Aku merasa bagai anak kecil lagi, hanyut dalam perasaan manja dan kasih sayang mereka.

"Sebelumnya, kita mampir menengok istri dan anak-anakmu dulu ya?" kata ibuku dengan lembut. Saat itulah aku teringat istri dan putra-putri kami. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa berkata-kata.

Sesampainya di rumahku, ibu langsung membuka pintu. Istriku tengah menidurkan putri bungsu kami. Alangkah besar rinduku padanya, namun aku hanya memperhatikan, karena tidak mau membuatnya kaget.
Ia lalu menggelar sajadah untuk salat. Ku tunggu sampai ia menyelesaikan salatnya, telepon rumah kami berdering. Istriku bergegas mengangkatnya.

"Halo?" seru istriku.
"Halo, bisa bicara dengan Nyonya Budiawan?" terdengar suara dari seberang sana.
"Ya, saya sendiri," sahut istriku.
"Saya Kepala Rutan tempat suami Anda ditahan."

"A...ada apa Pak?" tanya istriku dengan suasa terbata-bata kaget. Ia langsung curiga bahwa ada sesuatu terjadi padaku, karena sebelumnya ia tak pernah menerima telepon malam-malam dari kepala rutan.

"Begini Bu, kami menemukan suami Anda meninggal dunia setelah shalat Isya. Semoga Anda tabah dan Tuhan menguatkan hati Anda."

Istriku shock. Gagang telepon itu menjadi sangat berat dan lepas dari genggamannya. Ia mulai meraung-raung sejadi-jadinya.

"Halo?" terdengar suara dari seberang.
Istriku tak lagi menghiraukannya. Ia menangis sejadi-jadinya. Anak-anak kami terbangun dan menghampiri mamanya sambil mengusap mata.

"Ada apa Ma?" tanya putri kami terlihat heran.

Istriku tak menjawab. Ia hanya meraih anak-anak kami, lalu mendekap mereka erat dalam tangisnya yang bertambah pilu.

( S E L E S A I )

Barakallahu fiikum wa Jazakumullah Khairan,,

Semoga bermanfaat,,

Salam Santun Ukhuwah,,,

LOWONGAN KERJA ONLINE INPUT DATA

 
  1.  Kerja System Online
  2.  Penawaran Bonus Gaji Pokok 2 Juta/Bulannya 
  3.  Pekerjaan Hanya Mengumpulkan dan Menginput Data yang disediakan program Secara Online,  Per-Input dapat  komisi  Rp. 10.000, - Bila Sehari Anda Sanggup Menginput 50 Data Maka Gaji  Anda 10RbX50Data=500Rb  Rupiah/Hari. Dalam 1 Bulan   500RbX30Hari=15Juta/Bulan.
  4.  Untuk Semua Golongan Individu Pelajar/Mahasiswa/Karyawan/Siapa saja Yang Memiliki Koneksi  Internet, Dapat  Dikerjakan   dirumah/diwarnet.
  5.  Mendapatkan Gaji 200Rb Didepan Setelah Pendaftaran Untuk Semangat Kerja Pertama Anda.
Cara Pendaftaran : Kirimkan Nama & Alamat Email anda MELALUI WEBSITE dibawah ini
Maka Demo dan Konsep kerjanya selengkapnya langsung kami kirimkan ke alamat web tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar