Yuk baca lagi.... Bagi yang belum baca Episode 1 sampai 3 Silakan Buka Page "Strawberry" Ini baca sebelum catatan Episode 4-5 ^_^
Episode 4.....
Selesai makan Zul memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota. la merasa imannya tidak kuat jika di rumah itu terus, dan berduaan dengan Linda. la menyadari dirinya hanyalah pemuda biasa yang masih lemah imannya. Yang masih sering kalah melawan hawa nafsunya sendiri. Tingkat ketakwaannya belumlah sampai pada tingkatan Nabi Yusuf yang mampu menepis godaan Zulaikha. la merasa setan yang ada dalam dirinya lebih kuat dari dirinya. Maka ia harus mengambil tindakan penyelamatan dan waspada. Ia tidak ingin membuat dirinya celaka. Ia baru sampai di negeri orang. Mau tinggal di mana saja belum jelas.
Pekerjaan juga belum jelas. Melangkahkan kaki mau ke mana saja belum jelas. Maka ia tidak mau terjebak dalam situasi yang mengakibatkan penyesalan. Ia teringat pesan Mar saat menyebut nama Linda pertama kalinya, "Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus jaga iman kalau berhadapan dengannya!"
Tak ada jalan lain baginya kecuali pergi dan menjauh dari sumber petaka. Api jika tidak bisa dilawan dan dipadamkan maka jalan selamat adalah lari menjauh dari api itu. Jika tidak maka api itu akan membakar dan menghancurkan.
"Maaf Mbak Linda, rasanya saya harus keluar jalanjalan. Saya ingin melihat-lihat suasana. Bosan di rumah terus. Nanti malam habis Maghrib mungkin saya datang lagi. Tas danbarang-barang saya masih di kamar," kata Zul pada Linda.
"O ya. Hati-hati di jalan. Sudah bawa paspornya?" sahut Linda
"Sudah. Kalau mau ke pusat kota Kuala Lumpur naik apa ya?"
"Tadi malam datang pakai apa?"
"Bus "
"Rapid KL ya?"
"Iya."
"Kalau begitu naik saja dari tempat kau tadi malam turun dan naik bus yang sama."
"Baik. Terima kasih. Salam buat Mbak Mar, Mbak Iin, dan Mbak Sumiyati."
"Baik. Kalau ada apa-apa bisa telpon kami ya. Sudah tahu nomor hp saya?"
"Belum."
"Kalau nomor Mbak Mar sudah tahu?"
"Sudah."
"Ya sudah. Itu cukup."
"Sekali lagi terima kasih. Saya pergi dulu."
"Ya, sekali lagi hati-hati di jalan. Jangan sampai tidur di bus ya," canda Linda.
Zul menjawab dengan senyum lalu beranjak meninggalkan Linda sendirian. Ia pergi hanya membawa tas cangklong hitam berisi map dokumen-dokumennya, sepotong sarung, dan kaos panjang. Itu saja. Ia merasa mantap. Jika ia bisa menaklukkan Jakarta dan Batam, maka ia sangat yakin ia pun bisa menaklukkan Kuala Lumpur. Sepintas ketika ia tiba di Purduraya, ia melihat suasana terminal bus paling padat di Kuala Lumpur itu tidak seganas Pulogadung dan Kampung Rambutan Jakarta. Ia pernah berkelahi dengan preman Pulogadung dan tetap bisa hidup. Ia juga pernah ditodong preman Kampung Rambutan dan bisa lolos. Jika ia terpaksa harus bertemu dengan preman Kuala Lumpur ia merasa tak perlu gentar. Orang Demak tidak boleh gentar berhadapan dengan situasi apapun juga.
Dari Subang Jaya ia naik bus Rapid KL ke terminal KL Sentral. Di KL Sentral ia sempat bingung mau ke mana. Ia berinisiatif untuk mencoba menghubungi lagi nama yang diberi oleh Pak Hasan sekali lagi. Setelah bertanya kepada seorang lelaki India ia menemukan telpon umum. Dari telpon umum ia menghubungi dan masuk. Ia sangat berbahagia seperti mendapatkan rejeki nomplok yang tiada terkira jumlahnya.
"Ini Pak Rusli ya?" tanyanya.
"Iya benar. Ini siape?"
"Saya Zul Pak. Saya mendapat nama dan nomor
Bapak dari Pak Hasan Batam."
"O ya ya. Pak Hasan sehat ya?"
"Alhamdulillah Pak. Bagaimana caranya saya bisa bertemu Bapak? Saya baru datang tadi malam dan tidak banyak tahu tentang Kuala Lumpur. Terus terang saya perlu sedikit bantuan Bapak."
"Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Saudara. Adik sekarang di mana?"
"Di KL Sentral Pak."
"Begini saja Dik. Dari KL Sentra adik naik KTM ke Stesyen Mad Valley. Saya jemput di sana. Baru nanti kira bicarakan segalanya dengan lebih leluasa."
"Apa tadi Pak, KTM ya?"
"Ya KTM, atau kereta listrik. Ingat ke Mad Valley! Turun di Mad Valley. Saya memakai baju koko hijau lumut."
"Baik Pak. Terima kasih."
Tidak sulit baginya untuk naik KTM dan tidak sulit untuk mencapai Mad Valley. Siang itu, ia merasa bahagia, sebab disambut dengan hangat oleh Pak Rusli, yang tak lain adalah seorang murid Pak Hasan saat belajar di Padang. Pak Hasan pernah mengajar di sebuah pesantren di Padang sebelum berdakwah di Batam. Pak Rusli mengajaknya makan siang di restoran Saji Selera yang letaknya tak jauh dari Mad Valley Plaza.
"Jadi yang mendorong adik ke Kuala Lumpur ini Pak Hasan?"
"Iya Pak."
"Itu maknanya adik diminta untuk belajar. Menuntut ilmu. Saya tahu persis siapa Pak Hasan. Tapi adik tidak akan bisa melanjutkan studi di sini, kalau tidak dengan bekerja. Dari mana uang untuk membayar kuliah kalau tidak dicari dengan bekerja? Iya kan?"
"Iya Pak."
"Jangan kuatir. Di sini banyak kok mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Nanti kau akan aku temukan dengan mereka. Insya Allah mereka akan banyak membantu. Terutama berkenaan dengan urusan pendaftaran di kampus. O ya kaubawa ijazah kan?"
"Bawa Pak."
"Dulu kuliah di mana?"
"Di IKIP PGRI Semarang Pak."
"Jurusan apa?"
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Pak."
"Ya ya ya. Gampang nanti bisa diatur untuk dicarikan jurusan yang pas. Yang penting kau serius lanjut kuliah kan?"
"Iya Pak."
"Bagus. Pak Hasan itu sebenarnya mendorongmu untuk memiliki modal paling mahal untuk sukses dan jaya."
"Apa itu Pak?"
"Ilmu. Hanya orang-orang berilmulah yang akan diangkat derajatnya oleh Allah. Banyak orang tidak berilmu kaya, namun derajatnya tidak diangkat oleh Allah. Tidak sedikit orang kaya yang jadi hina karena kekayaannya. Sebab ia tidak memiliki ilmu bagaimana menjadikan kekayaannya sebagai jalan beribadah dan menggapai kemuliaan. Setelah ini kau akan aku bawa ke rumah teman-teman mahasiswa. Agar kau kembali hidup dalam barakah lingkungan para penuntut ilmu."
"Iya Pak."
Berulang kali Zul hanya menjawab: Iya Pak, iya Pak.
Agaknya Pak Rusli memperhatikan jawaban Zul.
"Kamu ini dari tadi kok cuma bilang; Iya Pak, Iya Pak. Jawa betul kamu ini. Apa tidak ada kata-kata yang lain?"
"Mmm, aduh bagaimana Pak ya?"
"Sudah jangan dipikirkan. Ini hanya gurauan saja. Ayo kita jalan."
"Iya Pak."
"Lha diulang lagi kan!" Seru Pak Rusli sambil tersenyum lebar.
Zul langsung meringis. Ia jadi heran sendiri, kenapa terus mengulang-ulang kata-kata itu pada Pak Rusli. Namun suasana jadi sangat cair. Sikap Pak Rusli yang low profile membuatnya seolah sudah lama mengenal lelaki berumur empat puluhan itu. Padahal belum ada tiga jam ia bertemu dengannya.
Keluar dari Saji Selera, Pak Rusli membawanya masuk kampus Universiti Malaya. Zul terkagum-kagum dengan keindahan dan kerapian kampus perguruan tinggi tertua di Malaysia itu.
"Universiti ini masuk dalam jajaran 100 perguruan tinggi terbaik dunia. Kau harus tahu itu. Semoga saja kau nanti diterima lanjut S.2 di sini. Aku yakin orang seperti kau akan meraih kecemerlangan di masa yang akan datang." Ujar Pak Rusli menyemangati.
"Doanya Pak."
"Allah memberkati, insya Allah."
Setelah mengelilingi kampus Universiti Malaya, Pak Rusli mengajak Zul shalat Ashar di masjid Akademi Pengajian Islam. Setelah itu langsung memacu mobilnya ke kawasan Pantai Dalam. Setelah keluar dari kawasan kampus UM, di sepanjang perjalanan, tepatnya di samping kiri, Zul melihat rel KTM. Sesekali ia berpapasan dengan KTM yang melaju ke arah KL Sentral. Sepuluh menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya.
Mobil itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh. Setelah melewati jalan di bawah jembatan layang, mobil itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak apartemen putih yang tinggi dan kusam.
"Inilah Pantai Dalam, banyak mahasiswa Indonesia di sini. Kita akan berkunjung ke rumah salah seorang di an tar a mereka."
Mereka berdua turun dari mobil dan bergegas ke arah apartemen. Di tengah jalan mereka bertemu dengan anak muda yang gayanya khas Indonesia.
"Assalamu'alaikum. Geng, mau ke mana?" sapa Pak Rusli
"Anu Pak mau beli minyak goreng," jawab anak muda itu.
"Geng, kenalkan ini namanya Zul. Dari Demak. la baru datang tadi malam," kata Pak Rusli memperkenalkan.
Anak muda itu langsung menyalami Zul sambil memperkenalkan diri,
"Saya Sugeng, dari Purworejo Jawa Tengah. Selamat datang di Kuala Lumpur Mas."
"Iya Mas. Terima kasih," jawab Zul.
"Namanya Zul ya? Zul siapa lengkapnya?" tanya Sugeng lagi.
"Aslinya Ahmad Zul. Tapi teman-teman di SMA sering memanggil Zul Einstein."
"Zul Einstein. Wah keren juga. Rencana mau masuk UM?"
"Jika Allah mengijinkan."
"Nanti saya bantu, insya Allah."
"Terima kasih Mas Sugeng."
"Pak Rusli saya jalan dulu ya. Saya cuma sebentar kok. Langsung ke rumah saja Pak. Di rumah ada si Arif sama si Yahya," terang Sugeng.
"Baik Geng. Jangan lupa beli yang segar-segar ya," tukas Pak Rusli renyah.
"Beres Pak. O ya Pak jangan lupa lagi. Lantai sepuluh Iho. Bukan lantai sembilan."
"O ya terima kasih. Namanya juga sudah tua sering lupa. Ayo Zul kita jalan."
Pak Rusli dan Zul berjalan melewati samping apartemen menuju apartemen berikutnya. Lalu masuk lift yang mengantarkan mereka berdua sampai lantai sepuluh. Keluar dari lift mereka berjalan ke arah kanan. Di pintu flat tempat tinggal Sugeng dan teman-temannya itu ada sriker bendera merah putih. Di bawahnya ada tulisan: "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!" Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah orang Indonesia dari Jawa.
Pak Rusli mengetuk pintu dan dibukakan oleh seorang pemuda gempal berambut tipis. la hanya memakai sarung dan kaos putih. Pemuda itu menyambut dengan senyum
"O Pak Rusli. Silakan Pak."
Pak Rusli dan Zul masuk. Pemuda itu memperkenalkan diri pada Zul. Namanya Yahya. Ia berasal dari Malang.
"Tesisnya bagaimana, Ya. Sudah selesai?" tanya Pak Rusli.
"Alhamdulillah sudah Pak. Minggu depan submit, insya Allah," jawab Yahya dengan wajah cerah.
"Langsung lanjut Ph.D., Ya?"
"Insya Allah Pak, tapi saya mesti laporan ke pihak UIN Malang dulu. Semoga saja diijinkan untuk langsung lanjut Ph.D. Doanya."
"Allah memudahkan insya Allah."
Akhirnya Zul tahu bahwa Yahya dulu kuliah di Pakistan jurusan sejarah dan peradaban. Sepulang dari Pakistan ia diterima jadi dosen di UIN Malang. Lalu melanjutkan S.2 di UM, dan sebentar lagi selesai. Setelah itu akan langsung melanjutkan S.3.
la juga tahu flat itu terdiri atas tiga kamar. Dua kamar mandi. Dapur. Dan ruang tamu. Yang tinggal di situ lima orang; Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan Pak Muslim. Yahya dan Pak Muslim sudah menikah.
Sedangkan yang lainnya masih bujang. Sewa flat itu enam ratus ringgit per bulan, atau sekitar satu juta enam ratus ribu per bulan. Baginya itu sangat mahal. Enam ratus ringgit ditanggung oleh penghuni rumah itu yang berjumlah lima. Sehingga masing-masing orang kena beban 120 ringgit per bulan. Jika berjumlah enam, maka masing-masing orang kena beban seratus ringgit.
Yahya juga bercerita, bahwa awal-awal di Kuala Lumpur ia sempat bekerja mencuci piring di restoran dengan gaji yang sangat mepet. Ia juga pernah kerja di sebuah kedai foto copy. Bahkan ia pernah bekerja sebagai tukang bersih-bersih WC di Gedung Putra World Trading Centre atau biasa disingkat PWTC.
"Apa saja saya lakukan untuk bisa hidup dan membayar uang kuliah. Meskipun diterima jadi dosen, tapi saya belajar ini tanpa beasiswa. Saya dulu sempat membawa isteri, tapi saya rasakan berat. Akhirnya sementara ini isteri tinggal di Malang dulu. Semoga saja nanti keadaan membaik. Dan saya bisa membawa isteri lagi kemari untuk menemani membuat disertasi Ph.D." jelas Yahya pada Zul.
"Intinya tidak boleh malu. Tidak boleh menyerah. Dan harus terus bergerak. Saya dulu awal-awal kuliah di sini juga sama seperti Yahya. Hidup prihatin. Kerja apa pun asal halal dan bisa membuat saya semakin kaya saya lakukan. Alhamdulillah sekarang saya bisa membuka usaha bekerjasama dengan orang Malaysia. Cukup untuk menghidupi anak dan isteri. Begitu selesai doktor saya langsung akan pulang ke Indonesia." Pak Rusli menambahi.
Tak lama kemudian Sugeng datang. Dan Arif yang tadi tidur, terbangun. Pertemuan itu jadi semakin hangat.
Semua memberi semangat pada Zul. Zul merasa menemukan orang-orang yang baik dan tulus. Yahya bahkan menawarkan agar Zul tinggal saja di flat itu dan bisa tinggal satu kamar dengannya.
"Tapi kamar saya agak sempit. Bagi saya tidak masalah dihuni dua orang. Jika hati dan jiwa kita lapang maka semua akan jadi lapang." Ucap Yahya dengan wajah cerah.
Tak ada keraguan bagi Zul untuk memutuskan tinggal di flat itu bersama Yahya, Sugeng dan temantemannya. Sore itu ia memutuskan untuk langsung menginap di situ dan tidak kembali ke Subang Jaya. Setelah mantap bahwa Zul tidak akan terlantar, Pak Rusli mohon diri. Sebelum keluar pintu ia masih sempat berkata pada Zul
"Saya akan coba mencari informasi. Jika ada lowongan nanti saya beritahukan. Yang jelas optimislah, bahwa Allah itu Mahakaya. Allah sudah mengatur jatah rejeki hamba-Nya. Tergantung bagaimana hamba-Nya itu memungutnya. Jika ada apa-apa. Perlu bantuan apaapa, telpon saya saja. Tak usah sungkan ya Zul."
"Iya Pak. Terima kasih atas segala kebaikannya."
* * *
Malam itu Zul bertemu dengan seluruh penghuni flat itu. la tidak merasa menjadi orang asing di rumah itu. Malam itu juga ia mendapatkan saran-saran yang sangat membantunya dalam menentukan langkah selanjutnya di Malaysia. Semua yang ada di rumah itu ingin memberikan bantuan semampunya.
Sugeng menawarkan diri untuk membantunya mengurus pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke Malaysia tanpa single entry maka urusan imigrasi pasti akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi Zul jika nanti harus berurusan dengan masalah visa. Yahya dan Arif akan membantu mencarikan informasi kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah itu, menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan Zul. Pak Muslim akan mengadakan penelitian di Sabah selama tiga minggu. Berarti sepeda motornya bisa dipakai selama itu.
"Ini masih bulan April. Awal semester bulan Juli. Masih ada waktu sekitar tiga bulan. Sebaiknya Zul daf tar dulu saja. Selama tiga bulan bekerja sungguh-sungguh agar bisa membayar awal semester. Yang pasti jumlahnya agak lumayan. Besok kita lengkapi syarat-syaratnya. Dan lusa kita masukkan berkas ke IPS.7 Untuk uang pendaftaran yang 30 dollar itu biar saya talangi dulu. Jadi, dua hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah itu baru konsentrasi cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng.
"Saya ikut saja." Lirih Zul.
"Coba lihat, mana ijazahmu? Kau bawa kan?"
7 IPS : Institute Postgraduate Studies.
Zul mengangguk dan mengambil tas hitamnya. la keluarkan map berisi berkas-berkas pribadinya dari tas itu. la berikan map itu pada Sugeng. Sugeng lalu membuka dan meneliti dengan seksama. Ijazah SD sampai S.l ada di situ. Sugeng lalu melihat ijazah S.l itu dengan kening berkerut.
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ya?"
"Iya Mas." Jawab Zul pelan
"Pak Muslim, sini Pak!" Seru Sugeng pada Pak Muslim yang sedang asyik menulis di depan layar komputer di kamarnya. Pak Muslim langsung mendekat. "Iya ada apa Geng?" tanya Pak Muslim sambil membenarkan gagang kaca matanya.
"Zul ini, S.l-nya jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Sebaiknya kalau masuk S.2 UM di fakultas apa, jurusan apa, Pak?"
Pak Muslim berpikir sejenak. Lalu berkata, "Lha Dik Zul sendiri ingin masuk fakultas apa?"
"Fakultas pendidikan, Pak." Jawab Zul seraya mendongakkan kepalanya ke arah Pak Muslim yang berdiri di samping Sugeng.
"Kalau gitu ya masuk fakultas pendidikan saja. Jurusannya, kalau saya boleh menyarankan sosiologi pendidikan saja." Sahut Pak Muslim.
"Bagaimana dengan saran Pak Muslim, Zul?" tanya Sugeng.
"Boleh. Saya sepakat."
Malam itu Zul merasa menemukan sctitik cahaya yang bisa dijadikan sedikit penerang bagi jalan masa depannya. la kembali mendapatkan gairah hidup yang baru. la merasakan kedamaian seperti rasa damainya saat dulu bisa melanjutkan pendidikan setelah lulus SD. la tetap bisa lanjut ke SMP meskipun harus dengan bekerja membantu Pakdenya di Pasar Sayung sepulang sekolah. la merasa bahagia saat itu, sebab banyak temantemannya yang putus sekolah karena tidak ada biaya.
Mereka selesai SD langsung bekerja di sawah atau kerja di pabrik-pabrik yang ada di Kawasan LIK Semarang.
Malam itu, untuk pertama kalinya ia tidur dalam keadaan lebih nyaman dan tenteram. Dadanya terisi cahaya optimisme dan semangat. Bertahun-tahun sebelumnya ia selalu tidur dalam bayang kekuatiran, rasa takut dan ketidakpastian hidup. Ia mengalami itu sejak Pakdenya, orang yang merawatnya sejak kecil, meninggal saat ia masih di bangku kelas 3 SMA. Sejak itu ia seperti merasakan ketidakpastian hidup. Dengan berusaha tetap tegar ia akhirnya berhasil juga menyelesaikan SMA-nya bahkan bisa tetap kuliah. Dan selesai juga kuliahnya.
Namun selesai kuliah ia belum juga mantap menapakkan kakinya. Hal itulah yang membuatnya merantau. Dari Semarang ke Jakarta. Lalu ke Batam. Dan akhirnya ke Malaysia. Dan malam itu, setelah ia bertemu dengan orangorang yang berpendidikan dan tulus, ia banyak mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang begitu rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut ilmu membuatnya kembali terlecut. Ia dulu, saat kuliah di Semarang, juga pernah mengalami apa yang Yahya alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang becak, kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan terakhir penjaga parkir di Pasar Johar.
Yang ia rasakan, bedanya Yahya dengan dirinya adalah Yahya begitu mantap dan bahagia dengan apa yang dilakukannya. Yahya menganggap hal itu bukan beban, tapi suatu kenikmatan. Yahya memasukkannya sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian. Tapi dia selama ini bekerja, selalu saja menganggap sebagai beban. Dalam hatinya selalu saja masih ada rasa kuatir dan merasa tertekan. Dan malam itu ia mendapatkan pencerahan yang membuatnya merasa lebih tenang. Malam itu ia tidur dengan bibir menyungging senyum optimis. Ia optimis telah menemukan jalan untuk memperbaiki masa depan. Ia tidur dengan sama sekali tidak mengingat Mari, Iin, Sumiyati dan Linda di Subang Jaya.
Sementara di Subang Jaya sana, Mari berangkat tidur dengan perasaan kehilangan. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia telah mendapatkaninformasi pekerjaan untuk Zul. Dan ia pulang dengan perasaan bahagia, sebab ia yakin Zul masih ada di rumahnya. Dan ia akan memberikan informasi pekerjaan itu pada pemuda itu. Ia akan melihat pemuda itu bahagia lalu mengucapkan terima kasih padanya. Namun ia kecewa saat ia dapati Zul tidak ada. Ia masih berharap, malam itu Zul akan kembali ke rumah itu.
Namun ia kembali kecewa. Sampai pukul satu malam ia menunggu Zul tidak juga muncul. Akhirnya ia tidur dengan perasaan masygul.
* * ********
EPISODE 5.....
Dua hari pertama di Pantai Dalam Kuala Lumpur, Zul sibuk mengurus berkas-berkas pendaf tarannya ke Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng menemani dan mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang mengusahakan rekomendasi dari dua orang guru besar di Universiti Malaya (UM). Dan di hari ketiga berkas itu berhasil dimasukkan ke Institute Postgraduate Program (IPS). Zul mengambil program kerja kursus dan tesis di Fakultas Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan.
"Kita tinggal menunggu surat panggilan dari UM. Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer letter ke alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu mengurus registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng pada Zul setelah berhasil memasukkan berkas ke IPS.
"Berapa lama kita menunggu offer letter Mas?"
"Mungkin dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang yang paling penting kamu mempersiapkan biaya untuk registrasi jika diterima nanti. Jika ditotal paling tidak nanti kamu harus keluar uang tiga ribu ringgit lebih."
"Besar sekali ya Mas."
"Ini untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester biaya SPP-nya terus turun. Kalau ditotal biaya kuliah di sini dengan di Indonesia kurang lebih sama. Namun jika kita bandingkan f asilitasnya, rasanya di sini lebih murah.
Hanya saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya bisa ditutupi. Sekali lagi yang agak berat itu memang biaya masuk awalnya."
"Saya harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya Mas."
"Iya."
Zul mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak gamang, apakah ia bisa.
"Jangan kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika nanti masih kurang, saya akan bantu mencarikan pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah untuk sesi Juli yang akan datang."
"Iya Mas, terima kasih atas segalanya. Saya akan berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas Rizal mengajak saya untuk kerja lembur di restoran sebuah hotel nanti malam."
"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau perlu istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara nanti pukul dua saya ada jadwal mengajar budak-budak Malaysia di Damansara."
"Ayo Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah flat kita."
"Iya."
* * *
Sore itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk mulai kerja pertama kalinya di negeri Jiran. Ia begitu bersemangat. Sebab ia punya tujuan yang jelas untuk apa bekerja. Rizal senang melihat Zul bersemangat. Ia senang, sebab malam itu ada yang menemaninya.
Selama ini ia biasanya sendirian saja.
"Kita harus sampai di Hotel Grand Season sebelum pukul setengah delapan. Pesta ulang tahun selebriti Malaysia ini akan berlangsung dari pukul delapan sampai pukul sebelas malam. Kita mungkin akan pulang sekitar pukul satu malam. Sebab selain kita bertugas menjadi pelayan yang menghidangkan makanan. Kita juga bertugas membersihkan peralatan setelah acara itu. Bagaimana kau siap Zul?"
"Siap Mas."
"Ayo kita berangkat."
Mereka berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan sepeda Honda tua tahun tujuh puluhan mereka meluncur menyisiri jalan raya Kuala Lumpur.
"Kenapa tadi tidak memakai motornya Pak Muslim saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul saat melihat Rizal berkali-kali melihat jam tangannya sambil mengendari sepeda motor tuanya.
"Memakai milik sendiri meskipun tua seperti ini rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat kok."
Jawab Rizal.
"Semoga Mas."
Mereka berdua akhirnya sampai di Hotel Grand Season yang berada di kawasan Chow Kit tepat pukul 19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai shalat Maghrib mereka mendapat briefing dari penanggung jawab restoran. Dan malam itu Zul bekerja dengan penuh hati-hati dan dedikasi. Ia begitu semangat, seolah tidak terasa lelah.
Dalam acara yang serba mewah dan glamour itu ia bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang sangat terkenal di Indonesia. Hanya saja ia tidak berani kenalan, minta tanda tangan atau minta foto bersama. Dalam hati kecil ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar menyapa bahkan minta tanda tangan. Ia hanya membayangkan jika bisa foto bersama artis paling populer di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa memasang foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada teman-temannya di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia. Namun ia tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua. la juga merasa, sebagai pelayan, sangat tidak etis jika sampai berani melakukan hal itu.
Di akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang wartawati sebuah stasiun televisi Malaysia. Cantik. Ia sangat tersanjung. Wartawati itu, entah iseng entah serius menanyakan ia berasal dari mana? Lulusan apa? Dan apa motivasinya kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab semuanya dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia. Lulus S.l dari sebuah universitas di Semarang. Dan kerja di situ karena harus survive dan harus bisa membayar biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu agak terkejut.
"Jadi awak sekarang sedang buat master di UM?"
"Iya."
"Dan awak ini bekerja untuk bayar studi awak?"
"Iya."
"Wah boleh. Awak boleh dikata seorang wira sejati. Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil fakulti apa?"
"Fakulti Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan."
"Terima kasih. Saya sangat kagum dengan awak. Semoga berjaya. Ini kad nama saya. Suatu masa nanti kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi, siapa nama awak tadi?"
"ZulHadi."
"Zul Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?"
"Wah tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?"
"A...boleh,boleh."
Zul lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati itu mencatatnya di note book-nya. Lalu wartawati itu pergi sambil menganggukkan kepala dan melempar senyum kepadanya. Zul balas mengangguk dan tersenyum.
Pengalaman pertamanya kerja di Kuala Lumpur malam itu sangat mengesankan. Malam itu, ia pulang pukul setengah dua malam.
Di tengah perjalanan hujan deras turun. Rizal nekat menerobos hujan itu. Dan malangnya, rantai sepeda motor tua itu putus. Jadilahmereka berdua jalan kaki sepanjang empat kilometer sambil menunrun motor. Mereka sampai di Pantai Dalampukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul,
"Sorry Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim, mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu."
"Tak apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak terlupakan."
"Ya. Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita hahaha."
"Hahaha."
Begitulah. Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya.
Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam.
Demi bertahan hidup dan demi bisa membayar uang kuliahnya. Selain bekerja insidentil di hotel-hotel kalau ada acara-acara besar, secara rutin siang hari Zul bekerja di pom bensin selama enam jam. Rizal jugalah yang mencarikan kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia ikut Arif bekerja sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah Taman Seputeh. Biasanya ia berangkat pukul tujuh malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena kesibukannya itu, ia belum juga sempat mengambil barangbarangnya yang ia tinggal di rumah Mari, di Subang Jaya. Ia bahkan nyaris melupakannya.
Suatu hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari:
"Assalamu'alaikum Mbak Mari.
Maaf ya, sy blm bs ke tmpt Mbak.
Juga maaf pada wkt itu tdk smpt pamitan.
Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt tmpt tnggl yg nyaman. Trs trng sy sdng sngt sibuk. Nnti jk sdh agak longgar sy k tmpt mbak untk ambil barang insya Allah. Terima kasih atas sgl kebaikannya ya. Dari adikmu: Zul."
Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari. Karena ia merasa Mari memang tepat dijadikan kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap dirinya sebagai adiknya.
Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari,
"Wassalamu'alaikum wr wb. Alhdulillah kau ternyata masih hidup :)
Aku smpat khwtir krn kau pergi dan dua bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses. Barangbarangmu masih terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr informasi, jk nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin lagi. Dia sdh pulang ke Indonesia tiga hari yang lalu. Dan kemngkinan besar tidak akan kembali lagi ke sini. Terima kasih telah menganggapku sebagai kakak. Selamat bekerja. O ya apakah ini nomor hpmu? Salam sayang dari kakakmu: Mari."
Ia bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya lebih muda darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya.
Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. la lalu menjawab pertanyaan Mari,
"Mbak ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman saya. Tapi saya punya alamat email. Jika ingin mengabarkan sesuatu kpd sy, ini alamatnya: zoel_guanteng@okaymail.com
. Terima kasih."
Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari,
"Ya. Baik."
* * *
Zul terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah surat dari Universiti Malaya. Zul benar-benar diterima di perguruan tinggi tertua di Malaysia itu. Dan setelah mati-matian bekerja siang dan malam selama tiga bulan, ia bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun uangnya habis untuk registrasi dan mengurus student pass. Padahal ia harus segera aktif kuliah. Ia tidak bisa lagi kerja full time seperti dulu.
Tapi pemasukannya harus tetap seperti dulu. Ia agak bingung menyikapi hal itu. Apalagi jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Dalam ke UM. Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah.
Apa yang ia hadapi itu ia sampaikan kepada Yahya, orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya. Sebab Yahya tinggal satu kamar dengannya. Yahya menyimak apa yang disampaikan Zul dengan penuh perhatian. Ia menjadi pendengar yang baik. Setelah Zul menyampaikan masalahnya secara tuntas, Yahya menanggapi,
"Bisa disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan manusia pada satu masalah, sebenarnya Allah juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna ma'al 'usriyusra. Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan.
Begitulah Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami sekarang ini pernah saya alami. Kau masih lebih beruntung Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita petakan apa yang kauhadapi satu per satu.
"Jika kau aktif kuliah artinya waktumu untuk bekerja di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja Sabtu dan Minggu. Sebab masa aktif kuliah cuma lima hari.
Tapi saya sering lihat juga, bahwa untuk pascasarjana fakulti pendidikan sering masuk sore hari. Sebab mahasiswa dari pribumi Malaysia banyak yang dari kalangan guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa masuk kuliah sore hari. Yang paling penting, kau harus pastikan jadwal kuliah secepatnya. Baru bisa menata kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau harus memiliki sepeda motor sendiri. Selama ini kau bisa pinjam Rizal, Pak Muslim, atau siapa saja yang sepeda motornya nganggur. Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau sudah punya jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri, yang berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin kau bisa berangkat kerja bersama Rizal, sekarang belum tentu bisa.
"Menurut saya, sepeda motor sudah kebutuhan primer bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan kalau disuruh memilih penting mana sepeda motor sama komputer? Saya akan langsung jawab; penting sepeda motor. Kita tidak akan leluasa bergerak tanpa sepeda motor. Tapi kita masih bisa mengerjakan tugas dengan baik meskipun tidak memiliki komputer. Sebab di kampus fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul."
Zul memikirkan dan merenungi saran Yahya benarbenar. Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak benarnya. Ia harus punya sepeda motor meskipun tua dan butut. Akhirnya dengan memberanikan diri, ia meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki tahun tujuh puluhan akhir.
"Yang penting bisa jalan dan mengantarkan sampai tujuan." Gumamnya dalam hati.
Setelah itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata jadwal kerjanya. Dengan terpaksa kerja di pom bensin ia tinggalkan. Sebab kerja di pom bensin itu banyak bertabrakan dengan jadwal kuliahnya. Sebagai gantinya ia kerja di warung runcit. Berangkat pukul delapan sampai pukul dua siang. Setiap hari. Jadwal kuliahnya banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau pukul empat.
Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh.
Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah shalat Subuh.
"Saya belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD.
Saya ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya hanya bisa konsentrasi jika membacanya pada pagi hari. Ya setelah shalat Subuh itu. Biasanya kalau yang saya baca setelah shalat Subuh itu banyak melekatnya di otak." Kata Yahya pada Zul suatu ketika.
"Dan lagi setelah shalat Subuh itu waktu yang penuh barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa barakah untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi. Jika kita ingin dapat banyak barakah ya berarti kita harus menghidupkan waktu pagi kita. Waktu Subuh dan setelah Subuh kita." Sambung Yahya.
"Wah cocok sekali apa yang Mas Yahya sampaikan dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di Malaysia, mereka itu selalu membuka toko dan dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman di Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China di Jakarta. Dia cerita, tuannya itu sudah bangun pagi sejak pukul empat pagi. Begitu bangun pagi langsung melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga saham dunia. O jadi nyambung sama barakahnya waktu pagi."
"Iya Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi dari orang China."
"Benar Mas."
Nantikan selanjutnya di Episode 6-7 Sesaat lagi…
LOWONGAN KERJA ONLINE INPUT DATA
- Kerja System Online
- Penawaran Bonus Gaji Pokok 2 Juta/Bulannya
- Pekerjaan Hanya Mengumpulkan dan Menginput Data yang disediakan program Secara Online, Per-Input dapat komisi Rp. 10.000, - Bila Sehari Anda Sanggup Menginput 50 Data Maka Gaji Anda 10RbX50Data=500Rb Rupiah/Hari. Dalam 1 Bulan 500RbX30Hari=15Juta/Bulan.
- Untuk Semua Golongan Individu Pelajar/Mahasiswa/Karyawan/Siapa saja Yang Memiliki Koneksi Internet, Dapat Dikerjakan dirumah/diwarnet.
- Mendapatkan Gaji 200Rb Didepan Setelah Pendaftaran Untuk Semangat Kerja Pertama Anda.
Cara Pendaftaran : Kirimkan Nama & Alamat Email anda MELALUI WEBSITE dibawah iniMaka Demo dan Konsep kerjanya selengkapnya langsung kami kirimkan ke alamat web tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar