Minggu, 24 Juli 2011

HASRAT, KOMITMEN DAN KEBERANIAN

Namanya Hani. Hani Irmawati. Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun. Tinggal di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan tahunan mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika. 

Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia. 

“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan. 

Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar. 

“Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya,” tutur sang guru. “Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat.” 

Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada. 

Namun, Hani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun. 

“Maukah Anda mengirimkan namaku?” pintanya untuk didaftarkan sebagai 
penerima beasiswa. 

“Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik 
dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga 
dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya,” ujar sang guru. 

“Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk 
diterima itu tipis, mungkin nihil.” 

Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa 
Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang 
yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar 
bagian-bagian komputer dan cara kerjanya. 

Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat 
dari asosiasi beasiswa itu. 

“Inilah saat yang kejam. Penolakan,” pikir sang guru. 

Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang 
guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani diterima 
…. 

“Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah 
diketahui Hani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi 
juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk 
percaya akan dirimu sendiri,” tutur sang guru menutup kisahnya. 

Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship, 
dan dimuat di buku “Chicken Soup for the College Soul”, yang edisi 
Indonesianya telah diterbitkan. 

Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark 
Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih 
dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa. 

Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad 
untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, “Perbedaan antara 
yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang.” 

Anda memilikinya?

BISNIS ONLINE Terpercaya dan Menguntungkan JIKA BERMINAT SILAKAN KLIK BANNER GAMBAR Dibawah ini dan Masukan NAMA dan EMAIL anda di subcriser nanti untuk bisa melihat-lihat Info bisnis Ini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar