Sabtu, 22 Oktober 2011

~ ** MAHKOTA CINTA **~ Novel Episode 10-11

Yuk baca lagi.... Bagi yang belum baca Episode 1 sampai 9 Silakan Buka Page "Strawberry" Ini baca sebelum catatan  Episode 10-11 ^_^

Episode 10...

Sudah sepuluh jam Zul di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya. Sejak jam delapan pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa berat. Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia memenjarakan diri di perpustakaan. Empat hari sebelumnya di Perpustakaan Fakulti Pendidikan.

Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil penulisan ayat dan hadis. Ia menulis tentang pendidikan pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu bulan.
Perpustakaan Akademi Pengajian Islam itu telah sepi.

Di lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas perpustakaan telah mengumumkan dua puluh menit lagi perpustakaan tutup. Zul berdiri sejenak. Ia menggerakkan tubuhnya dengan memutar kedua tangan ke kiri dan ke kanan. Kepalanya ia jatuhkan ke kiri dan ke kanan. Setelah itu ia merapikan buku-buku yang baru saja ia baca. Kertas-kertas berisi catatan-catatan penting untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat. Lalu ia masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa tidak ada yang ganjil ia turun ke bawah.

Di bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada adalah petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis melayu yang juga sedang berkemas dan siap pergi. Che Mazlan, petugas perpustakaan paling ramah menyapanya dengan tersenyum,

"Sudah ketemu semua yang dicari Ustadz?"

Karena memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz. Ia hanya menjawab dengan senyum dan menganggukkan kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa pening. Ia berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil tasnya. Memasukkan map plastiknya ke dalam tas. Dan melangkah keluar. Ia lihat jam tangannya.

"Ashar baru mau masuk."

la merasa harus segera mengisi perutnya yang sejak pagi hanya terisi sepotong roti canai dan segelas air putih. Ia bergegas turun ke tempat parkir. Sepeda motor tuanya begitu setia menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa jurus kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut itu membawanya meluncur ke kanlin kolej 12. Sore itu kantin kolej 12 padat pengunjung. Kantin yang dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti Malaya itu begitu hidup. Padat bergairah, namun tetap rapi dan bersih. Ada lima belas cafe dan kedai. Sore itu semua buka.

Bisa dipastikan sembilan puluh sembilan persen pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung, ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Cafe berkerudung coklat muda bertanya,

"Minum apa Dik?"

"Teh O14 panas Kak." Jawabnya sambil meletakkan piringnya yang penuh nasi dan lauk. la memang mengambil nasi dengan porsi banyak. Sebab ia merasa sangat lapar. Sepuluh jam duduk serius di perpustakaan telah membuat tenaganya terasa terkuras habis.

"Berapa Kak? Tambah minum Teh O panas," tanyanya pada kasir.
"Empat ringgit dua puluh sen."

Ia keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat berkerudung putih itu memberinya uang kembali. Tiga keping uang logam. Lima puluh sen, dua puluh sen, dan sepuluh sen. Total delapan puluh sen.

Zul melangkah mencari tempat yang kosong. Ia lemparkan pandangan matanya ke segenap arah. Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya.

Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya. Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya. Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada yang menempati.

Zul mulai makan dengan lahap. Ia merasakan kenikmatan luar biasa.
"Hmm benar kata pepatah China, rasa lapar adalah koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada diri sendiri.

Sesekali ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan ke kanan. Melemparkan pandangan kalau-kalau ada mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia rasa agak aneh, sore itu dari sekian pengunjung tidak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Bahkan si Edy, si
Gugun, si Rizal dan si Emil yang biasanya ada di kantin Kolej 12 pada jam seperti itu pun tidak ada. Ia terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India hendak minta ijin untuk duduk di depannya. Tampaknya mahasiswi itu agak ragu. Mahasiswi itu tidak jadi duduk satu meja dengannya. Mahasiswi itu memilih mencari tempat yang lain.

Sambil makan ia tenggelam dalam lamunannya. Ia melamun tentang masa depannya. Selesai master ia harus bagaimana? Langsung pulang ke Indonesia dan mencari peluang kerja atau usaha, ataukah langsung saja melanjutkan studi mengambil program doktor? Kalau pulang ke Indonesia, di mana ia akan pulang? Ke tempat siapa? Ia merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa. Sejak kecil ia tidak melihat ayah dan ibunya.

Menurut cerita Pakdenya, ibunya yang bodoh adalah korban penipuan. Ibunya kerja di sebuah pabrik di Semarang. Di tempat kerjanya ia kenal dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengaku dari Lampung. Ibunya terpikat oleh penampilan dan mulut manis lelaki itu. Ibunya ikut saja ketika lelaki itu mengajaknya menikah secara siri. 

Asal sah menurut syariat tapi belum dicatat secara resmi di KUA. Pakdenya sebagai wali satu-satunya tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau menikah ya menikah serius. Diumumkan terangterangan dan dicatat secara resmi di KUA. Namun lelaki itu beralasan, keluarga besarnya harus datang ke Demak jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan biaya unruk itu. Nikah siri adalah solusi agar hubungan dua insan itu halal.

Ibunya yang sudah cinta mati pada lelaki itu mendukung nikah siri. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri jika Pakdenya tidak merestui. Akhirnya Pakdenya terpaksa menikahkan ibunya dengan lelaki itu secara siri. Lelaki itu hidup satu rumah dengan ibunya selama dua bulan. Setelah itu ia pamit pergi ke Lampung untuk menjenguk keluarganya. Dan ternyata tidak kembali. Padahal saat itu ibunya tengah hamil. Pakdenya mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata alamatnya fiktif. Ibunya stres. Kesehatannya menurun. Dan meninggal saat melahirkan dirinya.

Sejak itu ia ikut Pakdenya. Pakdenyalah yang ia sebut dengan panggilan ayah. Ia bahkan tidak tahu nama ayahnya. Ketika ia tanya sama Pakdenya nama ayahnya, Pakdenya memberikan KTP yang ditinggalkan ayahnya. Disitu tertulis sebuah nama. Tapi Pakdenya yakin nama itu pun fiktif, alias samaran. Ia merasa tidak punya ayah. Namun ia merasa sedikit tenang bahwa ia terlahir dari hubungan yang halal. Dengan menikah. Meskipun ayahnya menikahi ibunya dengan menipu.

Dengan tidak mengenal ayahnya sejak kecil ia merasa bahagia karena tidak mendapatkan didikan untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk jujur dan bertanggung jawab.

Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya sudah meninggal. Pakde yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu telah tiada. Sebenarnya ia telah menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing dan tidak enak jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya sudah tidak lagi menempati rumah yang dulu, tapi kini telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang lama, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya ia dengar telah dijual.

Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa.

Dan jika ia terus lanjut program Ph.D, apakah ia akan hidup dengan cara seperti ini terus. Hidup dengan cara sapi perah. Hidup di Kuala Lumpur dengan tanpa mengenal istirahat. Hidup untuk bekerja sambil belajar. Itu yang ia rasakan. Jujur saja. Bisa saja ia mengatakan ia bekerja untuk hidup dan bekerja untuk belajar. Tapi ia merasa sepertinya telah diatur oleh waktu untuk bangun pagi, lari ke sana, lari ke sini. Bekerja di sana. Bekerja di sini. Waktu seolah telah memprogramnya begitu, agar ia bisa bertahan hidup. Seolah jika ia menyalahi program waktu itu, hidupnya terancam. Ia terancam tidak bisa membayar sewa rumah, terancam tidak bisa makan, terancam tidak bisa membayar uang kuliah, dan terancam tidak bisa menata hidup lebih layak di masa depan. Ia selalu berusaha menyembuhkan kelelahannya dengan menghibur diri: inilah proses merubah takdir. Kata-kata yang selalu ia gumamkan saat didera keletihan itulah yang menguatkannya. 

Ia merasa sejak kecil ditakdirkan untuk menderita. Namun ia merasa Allah tetap menyayanginya. Ia yakin Allah telah menyiapkan banyak jalan dan sebab untuk merubah takdir. Ia yakin dengan usaha yang gigih Allah akan merubah takdirnya. Itulah yang menguatkan dirinya.

Namun seringkali ia berpikir, apakah dirinya telah tepat mengambil jalan dan sebab dalam mengubah takdir. Sejak lulus SMA di Sayung Demak, ia telah berusaha keras. Merantau ke Semarang, membanting tulang di Semarang. Sambil bekerja apa saja di Semarang ia berusaha tetap kuliah. Akhirnya selesai juga S.l-nya. Ia meraih gelar S.Pd. dari IKIP PGRI. Namun meraih gelar S.Pd. ia rasakan belum juga merubah nasibnya. Ia tetap harus bekerja sebagai penjaga parkir di Pasar Johar jika ingin tetap bisa makan. Ia bekerja bersama mereka yang bahkan hanya lulus SD. Ia bahkan sering dijadikan bahan olok-olokan oleh teman-temannya,

"Kalau hanya jadi tukang parkir ngapain kuliah sampai sarjana."

Ya ia sarjana, tetapi bosnya hanyalah lulusan SD. Ia lalu berpikir untuk hijrah. Pindah. Mencoba peruntungan baru. Hijrah dari satu takdir ke takdir yang ia anggap lebih baik. Ia nekat ke Jakarta.Di Jakarta ia merasa tidak mendapatkan apa yang ia cari. Sama saja. Ia masih tetap menjadi buruh kasar. Ia merasa tak ada gunanya ia kuliah. Hanya empat bulan ia bertahan di Jakarta. Ia lalu nekat merantau ke Batam. Banyak yang bercerita Batam adalah cara cepat merubah nasib. Di Batam banyak pekerjaan dan banyak uang. Di Batam ia merasa menemukan takdir yang tak jauh berbeda. Namun ia merasa harus bersyukur, di Batam ia bertemu dengan seorang sosok yang tulus. Namanya Pak Hasan.

Dialah orang yang mengarahkannya merantau ke negeri Jiran ini dan menyemangatinya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi.

"Kamu masih muda, seberangilah lautan ini. Dan tuntutlah ilmu ke jenjang yang lebih tinggi di sana. Hanya dengan ilmulah seseorang akan lebih mudah memperbaiki nasibnya. Jangan kuatir, Allah akan membukakan pintu rahmat-Nya untukmu. Di sana, asal adik gigih dan terus ingat Allah, kamu akan tetap survive. Percayalah kamu akan sukses. Percayalah dengan ilmu derajatmu akan diangkat oleh Allah! Dan dalam setiap langkahmu, berpegangteguhlah kamu pada Al-Quran, niscaya kamu akan sukses!" 

Begitu kata Pak Hasan padanya waktu itu, seraya memberikan mushaf kecil Al- Quran.

Ia merasa tak boleh berhenti untuk merubah nasib. Ia harus terus berusaha. Dan dengan modal seadanya, dengan nekat yang disertai sebuah tekad ia merantau ke negeri Jiran ini. Dengan berdarah-darah ia akhirnya bisa tetap hidup dan bisa kuliah pascasarjana. Dan kini ia sudah diambang pintu kelulusan. Tak lama lagi ia akan menyandang gelar M.Ed, atau Master of Education dalam bidang Sosiologi Pendidikan. Gelar yang keren.

Di desanya, ia mungkin satu-satunya orang yang meraih gelar M.Ed, dari sebuah universitas terkemuka di luar negeri. Menyadari kenyataan itu bukannya ia bangga, justru dadanya kini sesak.

Ia memang bahagia lantaran ia akan segera lulus S.2. Keseriusannya memfokuskan diri pada kuliah dan kerja—usai membaca berita tentang penangkapan Siti Martini dan kawan-kawannya—telah menampakkan hasil. Ia hanya perlu waktu empat semester saja untuk menyelesaikan S.2-nya. Satu bulan lagi, begitu tesisnya ia perbaiki bisa dikatakan ia telah berhasil meraih gelar master.

Namun ia merasa ada yang menyesak di dadanya. Ia merasa masih juga hidup dengan cara bertahan dengan kekuatan otot. Ilmu Sosiologi Pendidikannya ia rasakan belum juga bermanfaat baginya. Yang paling akrab dengannya masih juga kerja-kerja yang mengandalkan otot. Belum kerja profesional yang mengandalkan otak.

Jika ia hitung, rata-rata ia harus bekerja dua belas jam setiap hari. Dan ia harus menempuh jarak tak kurang dari dua puluh kilo setiap hari. Selesai kuliah setiap malam ia harus tiba di Jamaliah Cafe tepat jam sembilan malam dan pulang jam dua malam. Di antara sekian pelayan restoran hanya dia seorang yang calon master. Rata-rata mereka hanya tamat SMA. 

Sedangkan sang pemilik restoran hanya lulusan D2 dari sebuah institut tidak terkenal di Shah Alam.

Ia bertanya pada diri sendiri, apakah jika ia melanjutkan Program Ph.D., ia juga akan tetap seperti ini. Bertahan dengan cara seperti ini. Bahkan ketika telah meraih gelar Ph.D. juga akan tetap bertahan hidup dengan cara seperti ini. Dan jika ia pulang ke Indonesia dengan gelar doktor, akankah ia tetap akan bekerja sebagai kuli panggul di pabrik atau kerja otot lainnya? Atau, ia justru akan masuk dalam daftar panjang para pengangguran yang hidup tak mau mati pun segan? Ia teringat kata-kata Doktor Nyatman, salah satu putra terbaik Indonesia yang kini bekerja di sebuah perusahaan farmasi di Selangor,

"Di Indonesia, doktor yang menganggur sudah mulai banyak. Bahkan doktor yang memiliki kualifikasi keilmuan yang hebat sekalipun. Banyak putera bangsa yang berprestasi, bisa menyelesaikan doktor dan memiliki prestasi gemilang bertaraf internasional tapi sama sekali tidak diapresiasi di Tanah Air. Saya punya kenalan seorang doktor lulusan Jepang yang cemerlang dan mendapat banyak penghargaan internasional atas riset-risetnya yang brilian, namun sama sekali tidak dihargai di Indonesia. la melamar ke pelbagai universitas negeri di Indonesia dan tak ada satu pun yang menerima. Di Indonesia penjilat dan penjahat lebih dihargai daripada ilmuwan dan pahlawan."

Ada nada marah dan pesimis dalam kata-kata Doktor Nyatman. la merasakan Doktor Nyatman seolah-olah menjaga jarak dari Indonesia. Bahkan seolah-olah sudah merasa bukan lagi orang Indonesia. la mengatakan orang Indonesia dengan sebutan "mereka", dan menyebut pemerintah Indonesia dengan sebutan "pemerintah mereka", bukan pemerintah kita. Karena ia hidup di Malaysia, apakah ia merasa lebih nyaman menjadi orang Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia?

Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya? Apakah supaya dirinya takut hidup di Indonesia? Ataukah supaya dirinya benar-benar siap menghadapi beratnya tantangan hidup di Indonesia? Atau bukan itu semua, tapi hanya sebuah ungkapan kejengkelan seorang putra bangsa yang disia-siakan oleh bangsanya sendiri, sampai ia harus mengais sesuap nasi di negeri orang. Padahal gelar doktor dari Jerman telah ia sandang.
Jawabnya: Allahu a'lam.

Yang jelas ia sedang berpikir keras, bagaimana takdir hidupnya segera cepat berubah. Ia merasa sudah terlalu lama ia bersabar mati-matian berproses untuk membuka lembaran hidup yang lebih baik. Yang ia pikirkan apakah ia salah mengambil sebab dan jalan yang disiapkan Tuhan? Kenapa ada orang yang hanya cukup bekerja empat jam saja, di dalam tempat yang nyaman pula, dan hajat hidupnya tercukupi semua.

Bahkan berlebih dan bisa membantu dan menolong sesama. Bangun pagi tersenyum, siang tersenyum, malam tersenyum dan tidur pun tersenyum. Kenapa ada negara yang benar-benar mandiri, bisa memakmurkan rakyatnya dan menjaga kehormatan bangsanya di mata dunia? Negara itu kecil, tidak memiliki kekayaan alam apa-apa. Tapi ia bisa mengendalikan negara sekitarnya bahkan memanfaatkannya. Sementara itu di sisi lain, ia lihat sendiri—bahkan ia mengalami sendiri—ada orang yang nyaris hidupnya ia gunakan untuk bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam penuh, namun ia tetap juga sengsara. Hidupnya nyaris tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar biasa.
Ah, ia jadi teringat para petani di desanya. Ia teringat Kang Darsuki. Betapa luar biasa etos kerjanya. Ia selalu bangun jam tiga pagi, jauh sebelum Subuh. Membantu menyiapkan dagangan sang isteri untuk dijual ke pasar. Saat Subuh tiba ia dan isterinya telah berada di pasar. Ia shalat Subuh di pasar. Lalu bergegas pulang, sementara sang isteri berjualan hasil ladang di pasar. Setelah mengurus anaknya yang masih SD, ia langsung ke sawah. Ia biasanya bekerja di sawah sampai jam setengah lima sore. Malam harinya ia gunakan untuk bekerja membuat kursi. Selain sebagai petani ia juga dikenal sebagai seorang pembuat kursi. Namun sampai ia meninggal dunia karena penyakit typus akut, rumahnya masih berdinding bambu dan beratap seng bekas. Dan belum memiliki kamar mandi dan WC yang layak.
Di mana letak salahnya?

Kenapa petani Indonesia seolah harus terus miskin, sementara petani dari negeri Jiran saja bisa makmur dan menyekolahkan anaknya ke London? la lalu teringat pada dirinya sendiri. Kenapa ia yang sebentar lagi selesai master masih saja menggantungkan hidup dari mencuci piring di cafe dan restoran, sementara temannya dari Pahang yang juga calon master sudah memiliki dua perusahaan, dan satu kebun kelapa sawit seluas seribu hektar di Sumatera. Ya di Sumatera, Indonesia. Bukandi Melaka Malaysia.

* * *

"Maaf Bang, boleh saya duduk kat sini?" Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia memandang ke arah suara. Seorang gadis Melayu berdiri di depannya. Tangan kanannya memegang piring berisi makanan dan tangan kirinya memegang gelas berisi minuman berwarna cokelat. Bisa susu cokelat atau Milo. Bisa juga teh tarik.

"Em...silakan." Jawabnya sambil mengambil tasnya dari atas meja dan meletakkannya di atas kursi yang ada di samping kanannya.

Gadis itu langsung meletakkan piring dan gelasnya di atas meja. Gadis itu tidak membawa tas. Dengan gerakan yang lembut gadis itu duduk lalu makan. Gadis itu makan dengan menunduk. Ia tidak mempedulikan sama sekali gadis di hadapannya itu. Ia melanjutkan melahap nasi dan lauk yang masih tersisa di piringnya.

Setelah nasinya habis, ia meneguk teh O panasnya teguk demi teguk. Ia merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Kehangatan itu juga mengaliri syarafsyaraf kepalanya. Dan perlahan rasa peningnya memudar dan hilang.

Tanpa terelakkan ia sempat juga memperhatikan gadis di depannya, yang sedang lahap makan. Gadis itu memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri. Paras wajahnya memancarkan pesona khas gadis Melayu. Baju kebaya panjang berwarna biru muda membalut tubuhnya. Ia
tidak memakai jilbab. Rambutnya tergerai sebahu. Rambut itu hitam pekat dan berkilau indah.

Zul merasa ada yang janggal dengan cara makan gadis itu. Gadis itu makan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memegangi hand phone yang ia tempelkan ke telinga kanannya. Bahkan ketika sudah selesai bicara pun gadis itu tetap makan dengan tangan kiri dan tangan kanannya dibiarkannya tidak bekerja. Ia merasa harus meluruskan kejanggalan itu.

"Maaf Dik, boleh saya cakap sesuatu," katanya tegas pada gadis itu.
Gadis itu menghentikan makan dan memandang ke arahnya. Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan.

"Adik seorang Muslimah?"

Gadis itu kembali menganggukkan kepala.

"Maaf, ini hanya pelurusan kecil saja. Agar makan dan minum adik benar-benar barakah, sebaiknya adik makan dan minum memakai tangan kanan. Tidak memakai tangan kiri. Itu cara minum yang tidak disukai Rasulullah Saw. Maaf saya tidak bermaksud apa-apa kecuali kebaikan."
Muka gadis itu sedikit memerah.

"Terima kasih atas nasihatnya. Tapi kenapa Abang pedulikan saya? Apa Abang tidak punya urusan yang lebih penting?"

Agaknya gadis itu tersinggung.

"Sekali lagi maafkan saya Dik, jika ini mengganggu kenyamanan adik. Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya entah kenapa saya merasa hati ini tidak bisa diam setiap kali melihat ada sesuatu yang kurang pas. Sekali lagi maafkan saya, saya hanya ingin cara makan adik sesuai dengan sunnah Rasul. Itu saja. Tak ada maksud lain. Itu pun kalau adik berkenan."

Zul bangkit dari kursinya dan bergegas ke sepeda motornya yang terparkir tak jauh dari tempat makan. la sama sekali tidak mempedulikan reaksi gadis itu. Yang ada dalam benaknya adalah segera sampai rumah. Istirahat sebentar. Mandi. Menunggu Maghrib. Dan selepas shalat Maghrib kembali memperbaiki tesisnya.

Malam nanti ia akan kerja lembur untuk tesisnya. la telah ijin tidak kerja di Cafe Jamalia. Dengan tenang Zul menaiki motor bututnya, dan melenggang meninggalkan kantin kolej 12. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa gadis Melayu itu terus memperhatikan dirinya sampai ia hilang dari pandangan gadis itu.

♫•*¨*•.¸¸ ﷲ¸¸.•*¨*♥♥♥♥♥♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.
•*¨*•♫♫•
♫•*¨*•.¸¸ ﷲ¸¸.•*¨*♥♥♥♥♥♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.•*¨*•♫♫•

Episode 11...

Waktu terus berjalan, menghasilkan pergantian jam. Menghasilkan siang dan malam. Menghasilkan sejarah kehidupan dan kematian. Sejarah orang-orang yang gagal dan sejarah orang-orang yang berhasil. Sejarah orang-orang yang malang dan sejarah orang-orang yang beruntung. Waktu terus berjalan. Setiap detik selalu ada perubahan. Ya, waktu terus berjalan tanpa henti. Zul termenung di kamarnya memikirkan waktu yang ia lalui dan perubahan-perubahan yang ia alami.

Alangkah cepat waktu berjalan. Dan alangkah cepat umur berkurang. Ia merasa seperti baru kemarin ia lulus SD, terus SMP, terus SMA. Kenangan-kenangan saat di SMA terbayang di depan mata. Ia seolah ada di dalamnya.
Perubahan terasa sangat cepat. Ia menyadari bahwa ia ternyata sudah dua tahun lebih di Malaysia. Ia sudah selesai S.2.

Sepertinya baru kemarin ia masuk flat itu diantar oleh Pak Rusli. Lalu berkenalan dengan Sugeng, Yahya, Arif, Rizal dan Pak Muslim. Sekarang mereka sudah tidak ada lagi di flat itu bersamanya. Sugeng sudah selesai setengah tahun yang lalu dan kini mengajar di STAIN Kendari.

Yahya sedang menempuh program Ph.D., ia kini tinggal di Sigambut bersama isterinya. Arif sudah selesai masternya dan kini bekerja di sebuah Bank Syariah di Semarang. Rizal juga sudah selesai, ia mendirikan penerbitan di Bandung. Pak Muslim sudah menyelesaikan doktornya dan telah kembali mengajar di UNY.

Orang yang dulu satu rumah dengannya telah meninggalkannya. Kini ia tinggal bersama adik-adik yang lebih muda yang baru datang. Tak terasa. Ia sudah mulai merasa semakin tua. Umurnya sudah mendekati kepala tiga. Sugeng, Yahya, Arif dan Rizal semuanya sudah berkeluarga. Hanya dirinya yang belum. Semua sudah mengamalkan dan membagi ilmunya. Hanya ia seorang yang ia rasa belum. Ia masih saja seperti dulu.

Bekerja di cafe dan restoran. Ia masih memikirkan tentang nasibnya yang ia rasa belum mengalami perubahan. Ia gelisah. Akan ia bawa ke mana gelar M.Ed.nya?

Apakah hanya untuk memperpanjang namanya saja. Biar tampak ada gelar di belakangnya?

Hari itu jam tiga siang ia merasa harus silaturrahmi ke rumah Yahya. Ia ingin mendiskusikan kegelisahannya. Ia harus mengakui terkadang ia merasa sangat jauh dari dewasa. Ia merasa belum bisa berpikir tenang dan jauh ke depan seperti Yahya. Ia juga sering bertanya pada dirinya sendiri apakah kegelisahannya seperti itu termasuk tanda-tanda tidak menyukuri nikmat Tuhan?
Bukankah Tuhan telah banyak merubah dirinya. Dari orang jalanan yang terbuang dari kota ke kota menjadi orang yang hidup tenang. Dari orang yang pernah nyaris binasa karena dibelenggu oleh syahwat cinta menjadi orang yang merdeka.

Ketika ia sampai di rumah Yahya ia langsung menyampaikan kegelisahannya. Yahya menjawab, "Bersabar dan bersyukurlah Saudaraku. Jangan tergesa-gesa. Tetaplah sabar dan istiqamah dalam berusaha. Syukurilah apa pun karunia yang dilimpahkan oleh Allah. Jangan kau mendikte Allah. Jangan kau berprasangka buruk pada Allah. Allah-lah yang Mahatahu yang terbaik untuk kita. Apa yang menurut kita baik belum tentu baik menurut Allah. Dan apa yang menurut kita tidak baik belum tentu tidak baik menurut Allah. Apa yang kita sukai belum tentu itu baik bagi kita. Dan apa yang kita benci belum tentu tidak baik bagi kita.

"Bisa jadi, sampai saat ini kau masih bekerja di cafe, karena itu memang yang terbaik. Bisa jadi setelah itu akan ada hikmah yang luar biasa bagimu. Yang paling penting bersabar dan bersyukurlah. Optimislah. Dan berprasangka baiklah kepada Allah."

Zul merenungkan perkataan sahabatnya itu.

Yahya mempersilakannya untuk mencicipi agar-agar buatan isterinya. Zul mengambil satu dan memuji, "Agar-agarnya enak."

Spontan Yahya menjawab, "Makanya segera menikah, biar ada yang membuatkan agar-agar."

"Kalau kau ada calon untukku boleh Ya. Aku merasa sudah tiba saatnya. Orang satu rumah kita dulu sudah menikah semua. Hanya aku saja yang belum."

"Kau serius Zul."

"Serius."

"Kalau orang Malaysia bagaimana?"

"Kalau salehah kenapa tidak?"

"Ini serius lho Zul."

"Ya pasti seriuslah Ya. Masak aku main-main."

"Baik. Ini ada calon. Orangnya baik. Aku berani jamin. Dulu dia teman isteriku waktu kuliah di Birmingham. Dia Muslimah yang taat. Tidak pernah menanggalkan jilbab. Bagaimana?"

"Boleh saja. Cuma aku kuatir kalau aku mau dan dianya tidak mau."
"Bagaimana kalau sebaliknya. Ternyata dianya mau malah kau yang tidak mau."

"Kayaknya itu kemungkinan kecil Zul. Kalau kau sudah berani menjamin baik, masak sih aku tidak mau. Siapa namanya kalau boleh tahu?"
"Laila Abdurrahman."

"Kau mau ta'aruf serius dengannya Zul."

"Wualah tho Ya, Yahya. Berapa kali lagi kau akan tanya tentang keseriusanku. Baiklah, aku serius Ya."

"Kalau begitu kau besok datanglah ke masjid kampus UKM15 Bangi jam 3 sore. Kau akan aku temukan dengannya insya Allah."

"Baik."

* * * * *

Hari berikutnya Zul berangkat ke Bangi naik KTM dari Pantai Dalam sampai UKM lalu naik bus mini kuning ke masjid kampus UKM. Yahya ternyata sudah menunggu di masjid. Begitu ia sampai ia langsung diajak ke Fakulti Ekonomi. Ia dibawa ke auditorium. Di sana ada seminar membahas dua judul proposal disertasi doktor. Dua orang mahasiswa program doktor dari Malaysia mempresentasikan judul proposal disertasi mereka di hadapan dosen dan guru besar.

Zul dan Yahya duduk agak di belakang. Satu per satu kandidat doktor itu mempresentasikan kajiannya. Ada empat profesor yang menilai dan mengkritisi. Di antara empat profesor itu ada profesor madya perempuan yang tampak masih muda dan cantik. Dialah yang menjadi artis di ruangan itu. Zul diam-diam tersihir oleh keanggunan dan kecerdasan profesor itu. "Ya, perempuan Malaysia ada yang hebat juga ya. Itu yang di depan itu. Masih muda sudah profesor madya. Canggih betul."

" Kau tahu itu siapa?"
"Siapa Ya?"

"Itulah orang yang akan aku kenalkan denganmu." Zul kaget bagai disambar petir.

"Weh, yang benar Zul. Kau jangan bercanda Zul. Masak jauh-jauh datang kemari hanya untuk bercanda?"

"Aku tidak bercanda Zul. Aku serius. Dia itu namanya Prof. Madya Datin Laila Abdul Majid, Ph.D. Dia menyelesaikan S.2 dan S.3-nya di Birmingham. Satu kelas dengan isteriku saat S.2. Hanya saja isteriku pulang ke Indonesia setelah selesai S.2-nya, sedangkan dia langsung lanjut S.3. Kata isteriku, ketika di Birmingham dia termasuk mahasiswi yang disanjung banyak dosen karena kecerdasannya. Itulah kelebihan yang dia miliki. Bagaimana Zul, mau dilanjutkan apa tidak? Terus terang aku tidak bilang apa-apa padanya. Kalau mau nanti kita datangi dia dan kita ngobrol santai saja. Bagaimana?"

"Lanjut Ya."

"Okay, kau juga harus tahu kekurangannya, kalau ini dibilang kekurangan, dia itu sudah janda. Sudah pernah mau punya anak tapi keguguran. Dia janda karena suaminya meninggal dunia. Bagaimana Zul? Dilanjutkan apa tidak?"

Zul berpikir sejenak. Lalu menjawab,

"Dilanjutkan."

"Baik." Jawab Yahya sambil tersenyum.

Setelah seminar selesai Yahya bangkit. Isteri Yahya ternyata juga ada di ruangan itu. Isteri Yahya menyalami Prof. Datin Laila. 

Keduanya berangkulan mesra. Lalu Yahya menyapa seraya memperkenalkan Zul. Mereka berempat lalu berbincang-bincang sambil berdiri beberapa saat. Prof. Darin Laila sangat ramah dan murah senyum. Zul terpesona dengan aura kemelayuannya. Mereka berbincang tidak lama, sebab waktu shalat Ashar tiba. Prof. Datin Laila minta diri ke ruangannya. Yahya dan isterinya serta Zul bergegas ke masjid dengan mobil Yahya. Di perjalanan isteri Yahya menjelaskan bahwa Laila adalah teman akrabnya saat di Birmingham.
Beberapa bulan lalu Laila meminta padanya kalau punya calon yang sesuai untuknya. Orang Indonesia tidak apa-apa. Hari itu Zul seperti mimpi. la seperti tidak percaya kalau calon yang dikenalkan dengannya adalah seorang Datin Laila yang ia rasakan lebih dari seorang bidadari.

"Tapi Datin Laila belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu kalau ada orang Indonesia yang melihatnya dan berniat ta'aruf dengannya. Besok baru aku akan jelaskan padanya. Apa kira-kira reaksi dan tanggapan dia. Semoga seperti yang kita harapkan. Kalau melihat suami dia dahulu juga dari kalangan orang biasa. Bukan dari kalanganbangsawan," kata isteri Yahya.

"Insya Allah, kalau ini jodohmu tidak akan lari ke mana-mana Zul." Sambung Yahya.

Zul mengamini dalam hari berharap semoga surga itu telah ia rasakan di dunia.

Setelah shalat Ashar mereka pulang meninggalkan kampus UKM. Yahya dan isterinya membawa mobil. Zul naik bus kuning. Yahya menawarkan padanya untuk satu mobil, tapi Zul ingin berkunjung ke rumah seorang kenalannya bernama Ardan di Hentian Kajang.

Zul naik bus mini kuning ke Hentian Kajang.

Ongkosnya cuma tujuh puluh sen. Sepuluh menit kemudian bus itu sudah sampai di Hentian Kajang. Zul berjalan ke kanan menuju tempat duduk para penumpang.

Ketika ia melewati tempat itu, sekonyong-konyong ada seorang wanita berjilbab yang memanggilnya dengan keras.

"Zul! Mas Zul!"

Ia menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Seorang wanita berjilbab dengan wajah gembira melangkah ke arahnya. Ia mengamati dengan seksama, mencoba mengingat-ingat.

"Lupa ya sama saya? Pasti lupa?" kata wanita itu sambil tersenyum.
"Siapa ya? Agak lupa-lupa, ingat," jawab Zul.

"Sudah terlalu sibuk dan sudah lama sekali tidak bertemu jadi kau lupa. Sangat wajar. Apalagi penampilan saya dulu dengan sekarang berbeda. Pasti kau susah menerka."

"Aduh langsung saja. Siapa ya?" katanya sambil melihat jam. Ia memang tidak punya waktu terlalu Uziek Collections
longgar untuk hal yang kurang penting.

"Baik Mas. Saya Sumi Mas. Saya Sumiyati. Kita dulu ketemu di Subang Jaya. Ingat? Saya dulu tidak jilbaban seperti sekarang."

Seketika Zul terkaget dan langsung tersenyum bahagia.

"O Mbak Sumi. Ya Allah, saya benar-benar susah mengingat-ingat tadi. Saya sepertinya pernah bertemu. Tapi di mana saya tak ada bayangan. Iya Mbak benarbenar beda setelah pakai Jilbab. Tambah anggun."
Sumi tersenyum mendengar pujian.

"Alhamdulillah Mas. Saya bahagia berjalan dalam hidayah ini."

"O ya Mbak cerita teman-teman yang lain bagaimana ya? Saya pernah ke sana ternyata kalian sudah tidak di sana?" Zul pura-pura bertanya tidak tahu. la tidak bisa melupakan berita koran tentang penangkapan penghuni rumah itu.

"Mas belum tahu beritanya ya?"

"Berita yang mana?"

"Ah baiklah. Aku ceritakan biar nanti kalau suatu saat Mas dengar berita itu tidak salah faham. Begini Mas. Kami pergi tepatnya terusir dari rumah itu ada sebabnya. Sebabnya adalah ulah Linda dan Watik yang keterlaluan. 

Maksiatnya sudah terang-terangan. Aku yakin kau tahu apa pekerjaan Linda. Melacurkan diri. Biasanya ia dijemput dan berbuat maksiat itu di hotel. Kami mengingatkan tidak mempan. Mbak Mari sering bertengkar dengannya. 

Apalagi setelah kejadian Mbak Mari mau diperkosa sama mantan suaminya. Mbak Mari curiga Lindalah yang memberitahu keberadaan dirinya pada mantan suaminya. Linda semakin nekat seolah menantang penghuni rumah yang lain. Ia maksiat di kamarnya. 

Beberapa teman lelaki Linda datang ke rumah. Hal itu dicium oleh masyarakat. Akhirnya rumah itu digrebek. Kami semua dianggap pelacur semua. Padahal pelacurnya cuma Linda sama Watik. Kami diinterogasi habis-habisan. Kami difoto dan masuk koran. Yang paling sabar dan tabah menghadapi ujian ini adalah Mbak Mari. Mbak Mari berusaha sekuat tenaga berdialog dan menjelaskan bahwa tidak semua yang ditangkap adalah pelacur. Akhirnya Mbak Mari bisa menelpon seorang kenalannya. la anak seorang pejabat penting. Dengan jaminan temannya Mbak Mari, kami, selain Linda dan Watik dibebaskan. Sejak itu saya memakai jilbab. Saya ingin lebih berarti menjalani hidup ini. Begitu ceritanya Mas."

Zul mengucapkan syukur berkali-kali dalam hati mendengar penjelasan itu. la merasa berdosa telah berprasangka buruk pada semua penghuni rumah, termasuk pada Mari dan Sumi. Sekarang ia tahu Mari bersih. Ia jadi tidak sabar untuk menanyakan keberadaan Mari. Walau bagaimanapun nama itu pernah tertanam dalam hatinya.

"Lha Mbak Mari sekarang di mana?"

"Dia sudah di Indonesia."

"Ada alamatnya?"

"Sayang tidak ada. Buku catatanku yang ada alamat dan kontak Mbak Mari hilang di bus. Mungkin jatuh. Saya dengar dia sekarang hidup di Semarang."

"Mmm di Semarang. Dia sudah menikah?"

"Saya juga tidak tahu. Tapi dia pernah ngobrol dengan saya. Maaf lho Mas Zul ya kalau tidak berkenan. Ia pernah cerita kalau dia diam-diam suka sama Mas Zul."

Seperti ada setetes embun membasahi hatinya. Wajah Mari hadir dalam pikirannya. Kenangan lama perlahan muncul ke permukaan. Tapi cepat-cepat ia tepis kuatkuat. Ia tidak boleh menghadirkan kenangan itu. Ia telah siap berta'aruf dengan Datin Laila.

"Maaf Mas bus saya sudah datang, saya harus pergi.

Say a sekarang tinggal di sekitar sini. Mari Mas. Sukses ya." Sumi minta diri.
Zul terpaku di tempatnya beberapa saat lamanya.

Kemudian ia teringat hari sudah sore. Ia harus sudah ada di Pantai Dalam sebelum Maghrib. Keinginannya untuk menemui Ardan terpaksa ia urungkan. Ia langsung bergegas mencari bus ke KL Sentral. Dari KL Sentral ia akan nyambung dengan KTM.

* * *


Hari berikutnya, pagi-pagi sekali Yahya datang ke Pantai Dalam. Yahya menyampaikan hasil komunikasi antara isterinya dan Datin Laila. Zul tidak sabar menunggu berita gembira itu.

"Bagaimana, sesuai harapan?" tanya Zul.

"Pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak masalah...." jawab Yahya tenang.

"Alhamdulillah," potong Zul.

"E dengarkan dulu sampai aku selesai bicara!"

"O masih ada lanjutannya tho. Apa lanjutannya?"

"Ya pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah kakak sulungnya, yang sekarang jadi walinya telah membawa seorang calon untuknya. Datin Laila belum mengambil keputusan. Tapi agaknya Datin Laila merasa berat jika harus berseberangan dengan kakak sulungnya."

"Artinya ia cenderung mengiyakan calon dari kakaknya kan?"

"Begitulah.".

Zul menunduk kecewa.

"Kenapa dalam masalah seperti ini aku selalu menuai kecewa ya. Dulu mau serius menikahi Mari tak jadi. Apa ya dosaku ini?"

"Lha mulai berprasangka tidak baik pada Yang Mahakuasa! Sabarlah Zul. Selain membawa kabar menyedihkan itu aku juga membawa kabar menggembirakan untukmu."

'Apa itu Ya?"

"Aku kemarin dibel Pak Muslim. Di UNY ada lowongan dosen. Yang dicari S.2 jurusan Psikologi Pendidikan dan jurusan Sosiologi Pendidikan. Ini mungkin rejekimu. Coba kau masukkan lamaran ke sana."
"Wah boleh ini Ya." Zul semangat.

"Caranya bagaimana Ya?"

"Sebaiknya kau pulang ke Indonesia. Masukkan langsung lamaranmu ke UNY. Sekalian bersilaturrahmi ke rumah Pak Muslim. Siapa tahu Pak Muslim juga mencarikan jodoh untukmu. Mahasiswinya yang jilbaberjilbaber kan banyak."

"Wah saranmu brilian sekali Ya. Dunia ini sejatinya luas ya Ya. Wanita di dunia ini pun miliaran jumlahnya. Tidak cuma Mari atau Laila ya."
"Lha iya lah."

"Kenapa aku baru menyadarinya sekarang ya."
"Karena kamu selalu menyempitkan ruang berpikirmu selama ini Zul. Cobalah kau buka lebar-lebar.

Hidup ini akan terasa mudah, menyenangkan, dan menggairahkan."
"Ya sudah saatnya aku meluaskan ruang hati dan pikiran Ya."
"Di antara caranya adalah dengan selalu berprasangka baik kepada Allah."

"Terima kasih Ya. Bisa bantu aku lagi?"

"Apaitu?"

"Pinjami uang untuk beli tiket pesawat," kata Zul tersenyum.
"Tentu bisa."

"Kau memang sebaik-baik teman Ya."

"Kau juga Zul"

"Alhamdulillah..

Nantikan selanjutnya di Episode 12 (Terakhir) Sesaat lagi…
  
LOWONGAN KERJA ONLINE INPUT DATA
 
  1. Kerja System Online
  2. Penawaran Bonus Gaji Pokok 2 Juta/Bulannya
  3. Pekerjaan Hanya Mengumpulkan dan Menginput Data yang disediakan program Secara Online, Per-Input dapat komisi Rp. 10.000, - Bila Sehari Anda Sanggup Menginput 50 Data Maka Gaji Anda 10RbX50Data=500Rb Rupiah/Hari. Dalam 1 Bulan 500RbX30Hari=15Juta/Bulan.
  4. Untuk Semua Golongan Individu Pelajar/Mahasiswa/Karyawan/Siapa saja Yang Memiliki Koneksi Internet, Dapat Dikerjakan dirumah/diwarnet.
  5. Mendapatkan Gaji 200Rb Didepan Setelah Pendaftaran Untuk Semangat Kerja Pertama Anda.
Cara Pendaftaran : Kirimkan Nama & Alamat Email anda MELALUI WEBSITE dibawah ini
Maka Demo dan Konsep kerjanya selengkapnya langsung kami kirimkan ke alamat web tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar